1.
Pendahuluan
Plagiarisme atau yang sering dikenal
dengan plagiat merupakan salah satu tindakan yang sering dipermasalahkan dan
dikecem keberadaannya. Telebih di era yang semakin maju ini pihak tertentu
dengan mudah melakukan plagiasi terhadap karya orang lain dalam bentuk produk
bajakan, baik itu lagu, karya seni, produk industri, atau bahkan tulisan. Banyak
dari pelaku plagiarisme melakukan hal tersebut sebagai upaya memperkaya diri
sendiri namun dengan cara memplagiat karya pihak tertentu. Hal ini jika
dibiarkan terus-menerus tentunya akan sangat merugikan bagi pihak yang telah
melalui proses panjang untuk menghasilkan suatu karya. Oleh karena itu
diperlukan perhatian khusus terhadap masalah tersebut dan salah satunya adalah
dengan cara mendaftakan Hak Kekayaan Intelekual pencipta.
Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
muncul karena adanya kemampuan berpikir. Hasil dari daya cipta tersebut
dimiliki secara khusus (eksklusif)
yang dijelmakan dalam bentuk ciptaan atau invensi. Selanjutnya, HKI tersebut
memiliki nilai ekonomis apabila ciptaan atau invensi tersebut dipergunakan atau
dimanfaatkan. Nilai ekonomis ini adalah hak bagi pemilik HKI. Hak ekonomi (economic right) adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atas
kekayaan intelektual. Jadi, dari hak ekonomi tersebut akan diperoleh keuntungan
sejumlah uang dari penggunaan sendiri atau karena penggunaan melalui lisensi
oleh orang lain. Disamping hak ekonomi ada pula hak moral (moral right). Hak moral adalah hak yang melindungi kepentingan
pribadi pencipta atau investor. Hak moral ini tidak dapat dipisahkan dari
pencipta atau investornya meskipun HKI nya dialihkan pada orang lain.[1]
Hak cipta merupakan salah satu bagian dari Hak Kekayaan
Intelektual. Hak Cipta diatur dalam Pasal 28H ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945,
yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Berdasarkan ketentuan tersebut makan suatu hak dari karya seseorang tidak dapat
disebarluaskan tanpa sepengetahuan pemilik haknya. Ketentuan ini dipertegas
dengan ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta yakni : “Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang
Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu Ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan
Hak Cipta. Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan
bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan Hak Cipta, yang terbagi
menjadi dua macam stelsel, yaitu (Taryana Sunandar, 1994: 7) :
1. Stelsel deklaratif, adalah
stelsel yang menganggap bahwa Hak Cipta sebagai sesuatu hak yang lahir dengan
sendirinya secara alamiah bersamaan dengan lahirnya Ciptaan
itu dalam bentuk nyata, adanya hak tidak diperlukan suatu formalitas.
2. Stelsel konstitutif, adalah
stelsel yang menganggap bahwa Hak Cipta sebagai sesuatu yang tidak dengan
sendirinya lahir bersamaan dengan Ciptaan, melainkan memerlukan formalitas
pendaftaran.
Indonesia sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 tahun
2002 tentang Hak Cipta pada dasarnya menganut stelsel deklaratif, Hak Cipta
diperoleh Pencipta secara otomatis (automatic
protection) ketika suatu Ciptaan tersebut dilahirkan dalam suatu bentuk
kesatuan yang nyata, yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu, sehingga
dapat dilihat, dibaca, didengar atau dirasakan, seperti yang tertuang pada
ketentuan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 12 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002
tentang Hak Cipta.
2. Prosedur Pendaftaran Hak
Kekayaan Intelektual (HKI)
Direktorat
Jendral Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenhumkan merupakan lembaga pemerintah
yang berperan dalam pengurusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Dalam proses
pengajuan HKI terdapat prosedur-prosedur yang harus dilakukan oleh pemohon
dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi. DJKI sendiri membagi HKI menjadi
beberapa jenis seperti Hak Cipta, Paten, dan Merek, dan Desain Industri. Setiap
jenis HKI memiliki prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda dalam pengajuan
pemohonan Hak Kekayaan Intelektual. Berikut ini merupakan penjelasan prosedur
dari setiap jenis Hak Kekayaan Intelektual. A. Hak Cipta
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Prosedur pengjuan permohonan Hak cipta sepeti dikutip dari
situs Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual dijelasakan melalui diagram alir
dibawah ini.
Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk
selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut kepada pihak
lain untuk melaksanakannya. Prosedur pengajuan permohonan dapat dilihat pada
diagram alir dibawah ini.
C. Merek
Merek adalah suatu "tanda yang dapat
ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka,
susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara,
hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk
membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Diagram alir dibawah ini
menunjukkan prosedur pengajuan permohonan
Kekayaan Intelektual jenis Merek.
D. Desain Industri
Desain
Industri (DI) adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi
garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang
berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat
diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk
menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. Berikut
ini merupakan prosedur permohonan Kekayaan Intelektual jenis Desain Industri
seperti dikutip dari situs DJKI.
1.
Permohonan pendaftaran Desain Industri diajukan dengan cara
mengisi formulir yang disediakan untuk itu dalam bahasa Indonesia dan diketik
rangkap 3 (tiga).
2.
Pemohon wajib
melampirkan:
- tanggal, bulan, dan tahun surat Permohonan;
- nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pendesain;
- nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan Pemohon;
- nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan
diajukan melalui Kuasa; dan
- nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang
pertama kali, dalam hal Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
3.
Permohonan
ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya serta dilampiri dengan:
- contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari
Desain Industri yang dimohonkan pendaftarannya (untuk mempermudah proses
pengumuman permohonan, sebaiknya bentuk gambar atau foto tersebut dapat
di-scan, atau dalam bentuk disket atau floppy disk dengan program
sesuai);
- surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
- surat pernyataan bahwa Desain Industri yang dimohonkan
pendaftarannya adalah milik Pemohon atau milik Pendesain.
4.
Dalam hal Permohonan
diajukan secara bersama-sama oleh lebih dari satu Pemohon, Permohonan tersebut
ditandatangani oleh salah satu Pemohon dengan melampirkan persetujuan tertulis
dari para Pemohon lain.
5.
Dalam hal Permohonan
diajukan oleh bukan Pendesain, Permohonan harus disertai pernyataan yang
dilengkapi dengan bukti yang cukup bahwa Pemohon berhak atas Desain Industri
yang bersangkutan.
6.
Membayar biaya
permohonan sebesar Rp 300.000,00 untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) serta Rp
600.000,00 untuk non-UKM untuk setiap permohonan.
Referensi :
Dewi, Chandra Puspitasari. Tanpa Tahun. Pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual.
Diakses dari http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/PENDAFTARAN%20HKI-MAKALAH%20PPM%20Imogiri_0.pdf pada tanggal 10 Agustus 2017 Pukul 20.00 WIB
Dirjen Kekayaan Intelektual. Tanpa Tahun. Layanan Kekayaan Intelektual. Diakses dari laman.dgip.go.id pada tanggal 10 Agustus 2017 Pukul 20.30 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar