Rabu, 01 Juli 2015

SARA

·               Latar Belakang
Indonesia adalah Negara dengan luas wilayah 5.193.250 km² yang memiliki potensi yang sangat lur biasa. Sumber daya alam adalah salah satu potensi yang sangat luar biasa di Indonesia. Berbagai kekayaan alam seperti pertambangan, perikanan, perminyakan, serta pertaiannya membuat Negara ini membuat iri Negara-negara lain. Tak hanya dari segi SDAnya Indonesia juga patut bangga dengan kekayaan suku, agama, dan rasnya yang semakin melengkapi kekayaan Negara yang berluas 5.193.250 km²  ini.

Namun dibalik kekayaan dan keberagaman tersebut tak  jarang warga timbul pertentangan atau konflik. Konflik tersebut terjadi karena kesepahaman yang berbeda dari suku, agama, dan ras yang berbeda pula. Bahkan akibat pertentangan tersebut tak sedikit yang menimbulkan korban jiwa. Pertentangan terhadap perbedaan kesepahaman akan suku, ras, dan agama ini sering kali di sebut sebagai SARA. Apa itu SARA?
·               Definisi SARA
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan.
·               Macam-macam SARA
1.            Individual
Merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan. 
2.            Institusional
Merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya. 
3.            Kultural
Merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.

·               Konflik
Menurut Ralf Dahrendorf konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (Inherent omni-presence) dalam setiap masyarakat manusia. Menurutnya, perbedaan pandangan dan kepentingan diantara keompok-kelompok masyarakat tersebut merupakan hal yang cenderung alamiah dan tidak terhindarkan. Namun pihak yang menolak sudut pandang itu mengatakan bahwa akan menjadi persolan besar tatkala cara untuk mengekspresikan perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis dan merusak melalui penggunaan cara kekerasan fisik.
a.       Faktor-faktor Penyebab Konflik
1.      Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
2.      Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
3.      Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
4.      Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

b.      Contoh konflik yang disebabkan oleh SARA
1.      Konflik Poso
Secara garis besar konflik Poso dapat dibagi dalam 4 periode, yakni Poso I (Desember 1998), Poso II (April 2000), Poso III (Mei 2000), dan Poso IV (Oktober 2001) (2004: 266). Namun jika kita mencari penyebab konflik tersebut, sebenarnya hal ini hanya berawal dari kejadian ‘sederhana’ saja. 
Konflik Poso I saja misalnya, berawal dari perkelahian antar pemuda yang kebetulan beda agama gara-gara minuman keras, yang akhirnya merentet menjadi pengerusakan pemukiman yang membangkitkan solidaritas atas nama agama. Sedangkan dap konflik Poso II, juga dilatar belakangi dengan hal yang serupa, yakni perkelahian antar pemuda yang berbeda agama. Kerusuhan meluas sampai kesemua susdut kota Poso, massapun mulai menggunakan senjata tajam dan rakitan. Lalu dari kejadian konflik Poso II ini muncul beberapa orang yang mengaku tokoh masyarakat dan agama ke rumah dinas Bupati Poso. Tuntutan mereka tidak memiliki kaitan sama sekali dengan situasi yang tengah berlangsung, tetapi menuntut antara lain, jabatan sekretaris wilayah daerah (sekwilda) dikembalikan kepada Damsyik Djaelani, menarik pasukan Brimob dari Poso, bekukan kasus Agfar Patanga, dan non-aktifkan Kepal Polisi Resort (Kapolres) Poso. Di sini terlihat adanya konflik kepentingan politik lokal, juga konflik antar aparatur negara (Polisi vs TNI).
Pada konflik Poso III, muncul kerusuhan yang yang lebih brutal lagi. Saat itu muncul kelompok yang menamakan dirinya Kelelawar Hitam yang menyebabkan 3 orang tewas termasuk seorang polisi di Kelurahan Kayamanya. Sementara Komplek pemukiman Katolik maupun Komplek pesantren Wali Songo luluh lantak. Pembantaian massal terjadi di beberapa tempat dan lokasi. Rata-rata mayat yang ditemukan hanyut di di Sungai Poso, terikat tangannya, dan sebagian tanpa kepala. 
Konflik semakin melebar terjadi antara penduduk lokal dengan aparat TNI serta Brimob, dan ini terjadi pada konflik Poso IV Puncak kejadiannya terjadi pada bulan November 2001

2.      Konflik Ambon
Konflik Ambon Maluku yang berlarut-larut selama beberapa tahun, dan mulai terasa memuncak ke permukaan menjelang konflik Januari 1999. Sebelum konflik Januari 1999 meletus, telah muncul berbagai isu konflik bernuansa suku, agama, politik dan ekonomi. Berbagai potensi konflik tersebut tampak mengkristal menjadi isu politik etnis-agama menjelang konflik Januari 1999. Munculnya isu-isu ini meningkatkan ketegangan konflik di Ambon Maluku pada saat menjelang hingga runtuhnya Orde Baru. 
Salah satu penyebab mengapa isu demikian muncul dan mengkristal menjadi ketegangan antara kedua komunitas adalah karena terjadinya perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi eksternal di tingkat nasional saat itu (2004: 223). Namun apabila melihat akar permasalahan yang menyebabkan konflik tersebut, konflik di Ambon manifest pada 19 Januari 1999 dipicu oleh perkelahian dua pemuda yang kebetulan berbeda agama. Melalui berbagai fase, konflik horizontal tersebut berlangsung hingga 2002. 
Potensi konflik di Ambon sebenarnya bersifat historis. Strategi politik Belanda yang diskriminatifmenjadikan masyarakat Ambon tersegregasi berdasarkan keyakinan, kebudayaan, dan struktur sosial ternyata diwariskan sampai sekarang. 
Konflik yang manifes pada 1999 tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain terjadinya perubahan sosial, adanya mobilitas vertikal pada etnis Bugis, Buton, dan Maksar bersamaan dengan naiknya kiprah Islam Politik di tingkat nasional, turunnya legitimasi institusi dan nilai adat yang tersimpul pada tradisi pela gandong oleh determinasi modernitas yang diageni Orde Baru melalui UU No. 4 tahun 1975 tentang pemerintah daerah; dan berakhirnya negara yang bersifat sentralistik (2004: 249). 
Eskalasi konflik Ambon menjadi semakin canggih dan berdurasi panjang ketika aparat keamanan (TNI/Polri) entah bersifat institusional, faksional, atau oknum disinyalir membiarkan dan bahka terlibat secara emosional dalam konflik. Kemudian konflik Ambon mengalami radikalisasi ketika institusi agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konflik itu sendiri, dan menjustifikasi konflik sebagai jihad, perang suci, holly warsehingga peperangan itu menjurus pada pertarungan habis-habisan. 
Konflik agama di Ambon merupakan imbas benturan antarperadaban yang terjadi pada skala makro dan global yang mengaksentuasi pada konteks lokal dengan mengatasnamakan solidaritas primordial. Terdapat kontroversi antara pihak Muslim dan Kristen dalam melihat fenomena gerakan Laskar Jihad dan RMS.  

3.      Konflik etnik di Sampit Kalimantan Tengah.
Konflik etnis di Sampit pada tahun 2001 merupakan yang paling besar eskalasi, dan banyaknya korabn tewas dibandingkan dengan konflik Dayak dan Madura yang pernah terjadi di Kalimantan Barat selam masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun  sama-sama melibatkan etnis Dayak dan Madura tetapi karakter konflik di Kalimantan Tengah berbeda dengan yang terjadi di Kalimantan Barat. Hal itu disebabkan perbedaan sosial kultural masyarakat Dayak yang ada di Kalimatan Barat pada umumnya beragama Katholik, sedangkan etnis Dayak di Kalimantan Tengah sebagian besar beragama Islam, dan mereka yang di pedalaman masih banyka menganut agama Hindu Kaharingan.

Namun, setidaknya ada tujuh permasalahan yang dianggap menjadi akar konflik etnis di Kalimantan Tengah, yaitu
(a)    Kebijakan pemerintah pusat di masa lalu yang kurang tepat;
(b)   Kurang berhasilnya pemberdayaan masyarakat lokal;
(c)    Terjadi benturan budaya antara etnis Dayak dan Madura;
(d)   Ketidakadilan;
(e)    Kemiskinan;
(f)    Lemahnya penegakan hukum; dan
(g)     Kondisi keamanan yang tidak kondusif. Permasalahan tersbut sebenarnya sudah muncul sejak pemerintahan Orde Baru, namun saat itu negara masih kuat sehingga konflik tidak sampai manifes. Tetapi ketika kekuatan negara melemah akibat gerakan reformasi, potensi konflik tidak dapat lagi dikendalikan dan berubah menjadi konflik kekerasan yang masif. 

c.       Penyelesaian Konflik
1.      Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak majikan sendiri.
2.      Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan Penanganan Konflik Sosial 5 keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.

3.      Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah wasit.
4.       Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat damai.
5.      Détente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa “istirahat” itu. tidak tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.    

Daftar Pustaka
Sajid, Syahmi. 2015. Luas Wilayah dan Jumlah Suku di Indonesia. (http://ipsgampang.blogspot.com/2015/01/luas-wilayah-dan-jumlah-suku-di.html), diakses pada 26 Juni 2015 pukul 19.50 WIB)
(https://tejogeo.wordpress.com/2012/02/24/masalah_sosial_terkait_sara/), diakses pada tanggal 26 Juni 2015 pukul 20.00 WIB)
(http://mindaw.blogspot.com/2011/08/analisis-konflik-sara-di-indonesia.html), diakses pada tanggal 26 juni 2015 pukul 20.15 WIB)
(http://rudybyo.blogspot.com/2011/04/pengertian-sara-suku-ras-agama-dan.html), diakses pada tanggal 26 juni 2015 pukul 20.25 WIB









Tidak ada komentar:

Posting Komentar