·
Latar Belakang
Indonesia adalah Negara dengan luas wilayah 5.193.250 km² yang memiliki potensi yang sangat lur
biasa. Sumber daya alam adalah salah satu potensi yang sangat luar biasa di
Indonesia. Berbagai kekayaan alam seperti pertambangan, perikanan, perminyakan,
serta pertaiannya membuat Negara ini membuat iri Negara-negara lain. Tak hanya
dari segi SDAnya Indonesia juga patut bangga dengan kekayaan suku, agama, dan
rasnya yang semakin melengkapi kekayaan Negara yang berluas 5.193.250 km² ini.
Namun dibalik kekayaan dan keberagaman
tersebut tak jarang warga timbul
pertentangan atau konflik. Konflik tersebut terjadi karena kesepahaman yang
berbeda dari suku, agama, dan ras yang berbeda pula. Bahkan akibat pertentangan
tersebut tak sedikit yang menimbulkan korban jiwa. Pertentangan terhadap
perbedaan kesepahaman akan suku, ras, dan agama ini sering kali di sebut
sebagai SARA. Apa itu SARA?
·
Definisi SARA
SARA adalah berbagai pandangan dan tindakan
yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama,
kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan
kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan
golongan dapat dikatakan sebagai tidakan SARA. Tindakan ini mengebiri dan
melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia.
Dalam pengertian lain SARA dapat di sebut Diskriminasi yang
merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana
layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu
tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam
masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk
membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil
karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan,
aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan
dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum,
peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu,
seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang
sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat
diterapkan di lapangan.
·
Macam-macam
SARA
1.
Individual
Merupakan tindakan Sara yang dilakukan
oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan
maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan
menghina identitas diri maupun golongan.
2.
Institusional
Merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu
institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja
atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur
organisasi maupun kebijakannya.
3.
Kultural
Merupakan penyebaran mitos, tradisi dan
ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat.
·
Konflik
Menurut Ralf Dahrendorf
konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (Inherent omni-presence) dalam
setiap masyarakat manusia. Menurutnya, perbedaan pandangan dan kepentingan
diantara keompok-kelompok masyarakat tersebut merupakan hal yang cenderung
alamiah dan tidak terhindarkan. Namun pihak yang menolak sudut pandang itu
mengatakan bahwa akan menjadi persolan besar tatkala cara untuk mengekspresikan
perbedaan kepentingan diwujudkan dalam ekspresi yang tidak demokratis dan
merusak melalui penggunaan cara kekerasan fisik.
a.
Faktor-faktor Penyebab Konflik
1.
Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan
pendirian dan perasaan.
2.
Perbedaan latar
belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
3.
Perbedaan kepentingan antara individu atau
kelompok.
4.
Perubahan-perubahan nilai yang
cepat dan mendadak dalam masyarakat.
b.
Contoh konflik yang disebabkan oleh SARA
1. Konflik
Poso
Secara garis besar konflik Poso dapat dibagi
dalam 4 periode, yakni Poso I (Desember 1998), Poso II (April 2000), Poso III
(Mei 2000), dan Poso IV (Oktober 2001) (2004: 266). Namun jika kita mencari
penyebab konflik tersebut, sebenarnya hal ini hanya berawal dari kejadian
‘sederhana’ saja.
Konflik Poso I saja misalnya, berawal dari
perkelahian antar pemuda yang kebetulan beda agama gara-gara minuman keras,
yang akhirnya merentet menjadi pengerusakan pemukiman yang membangkitkan
solidaritas atas nama agama. Sedangkan dap konflik Poso II, juga dilatar
belakangi dengan hal yang serupa, yakni perkelahian antar pemuda yang berbeda
agama. Kerusuhan meluas sampai kesemua susdut kota Poso, massapun mulai
menggunakan senjata tajam dan rakitan. Lalu dari kejadian konflik Poso II ini
muncul beberapa orang yang mengaku tokoh masyarakat dan agama ke rumah dinas
Bupati Poso. Tuntutan mereka tidak memiliki kaitan sama sekali dengan situasi
yang tengah berlangsung, tetapi menuntut antara lain, jabatan sekretaris wilayah
daerah (sekwilda) dikembalikan kepada Damsyik Djaelani, menarik pasukan Brimob
dari Poso, bekukan kasus Agfar Patanga, dan non-aktifkan Kepal Polisi Resort
(Kapolres) Poso. Di sini terlihat adanya konflik kepentingan politik lokal,
juga konflik antar aparatur negara (Polisi vs TNI).
Pada konflik Poso III, muncul kerusuhan yang
yang lebih brutal lagi. Saat itu muncul kelompok yang menamakan dirinya
Kelelawar Hitam yang menyebabkan 3 orang tewas termasuk seorang polisi di
Kelurahan Kayamanya. Sementara Komplek pemukiman Katolik maupun Komplek
pesantren Wali Songo luluh lantak. Pembantaian massal terjadi di beberapa
tempat dan lokasi. Rata-rata mayat yang ditemukan hanyut di di Sungai Poso,
terikat tangannya, dan sebagian tanpa kepala.
Konflik semakin melebar terjadi antara
penduduk lokal dengan aparat TNI serta Brimob, dan ini terjadi pada konflik
Poso IV Puncak kejadiannya terjadi pada bulan November 2001
2. Konflik
Ambon
Konflik Ambon Maluku yang berlarut-larut
selama beberapa tahun, dan mulai terasa memuncak ke permukaan menjelang konflik
Januari 1999. Sebelum konflik Januari 1999 meletus, telah muncul berbagai isu
konflik bernuansa suku, agama, politik dan ekonomi. Berbagai potensi konflik
tersebut tampak mengkristal menjadi isu politik etnis-agama menjelang konflik
Januari 1999. Munculnya isu-isu ini meningkatkan ketegangan konflik di Ambon
Maluku pada saat menjelang hingga runtuhnya Orde Baru.
Salah satu penyebab mengapa isu demikian
muncul dan mengkristal menjadi ketegangan antara kedua komunitas adalah karena
terjadinya perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi eksternal di tingkat
nasional saat itu (2004: 223). Namun apabila melihat akar permasalahan yang
menyebabkan konflik tersebut, konflik di Ambon manifest pada 19 Januari 1999
dipicu oleh perkelahian dua pemuda yang kebetulan berbeda agama. Melalui
berbagai fase, konflik horizontal tersebut berlangsung hingga 2002.
Potensi konflik di Ambon sebenarnya bersifat
historis. Strategi politik Belanda yang diskriminatifmenjadikan masyarakat
Ambon tersegregasi berdasarkan keyakinan, kebudayaan, dan struktur sosial
ternyata diwariskan sampai sekarang.
Konflik yang manifes pada 1999 tersebut
disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain terjadinya perubahan sosial,
adanya mobilitas vertikal pada etnis Bugis, Buton, dan Maksar bersamaan dengan
naiknya kiprah Islam Politik di tingkat nasional, turunnya legitimasi institusi
dan nilai adat yang tersimpul pada tradisi pela gandong oleh
determinasi modernitas yang diageni Orde Baru melalui UU No. 4 tahun 1975
tentang pemerintah daerah; dan berakhirnya negara yang bersifat sentralistik
(2004: 249).
Eskalasi konflik Ambon menjadi semakin
canggih dan berdurasi panjang ketika aparat keamanan (TNI/Polri) entah bersifat
institusional, faksional, atau oknum disinyalir membiarkan dan bahka terlibat
secara emosional dalam konflik. Kemudian konflik Ambon mengalami radikalisasi
ketika institusi agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konflik itu
sendiri, dan menjustifikasi konflik sebagai jihad, perang suci, holly
warsehingga peperangan itu menjurus pada pertarungan habis-habisan.
Konflik agama di Ambon merupakan imbas
benturan antarperadaban yang terjadi pada skala makro dan global yang
mengaksentuasi pada konteks lokal dengan mengatasnamakan solidaritas primordial.
Terdapat kontroversi antara pihak Muslim dan Kristen dalam melihat fenomena
gerakan Laskar Jihad dan RMS.
3.
Konflik etnik di Sampit Kalimantan Tengah.
Konflik etnis di Sampit pada tahun 2001
merupakan yang paling besar eskalasi, dan banyaknya korabn tewas dibandingkan
dengan konflik Dayak dan Madura yang pernah terjadi di Kalimantan Barat selam
masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun sama-sama melibatkan etnis
Dayak dan Madura tetapi karakter konflik di Kalimantan Tengah berbeda dengan
yang terjadi di Kalimantan Barat. Hal itu disebabkan perbedaan sosial kultural
masyarakat Dayak yang ada di Kalimatan Barat pada umumnya beragama Katholik,
sedangkan etnis Dayak di Kalimantan Tengah sebagian besar beragama Islam, dan
mereka yang di pedalaman masih banyka menganut agama Hindu Kaharingan.
Namun, setidaknya ada tujuh permasalahan yang
dianggap menjadi akar konflik etnis di Kalimantan Tengah, yaitu
(a) Kebijakan
pemerintah pusat di masa lalu yang kurang tepat;
(b) Kurang
berhasilnya pemberdayaan masyarakat lokal;
(c) Terjadi
benturan budaya antara etnis Dayak dan Madura;
(d) Ketidakadilan;
(e) Kemiskinan;
(f) Lemahnya
penegakan hukum; dan
(g) Kondisi
keamanan yang tidak kondusif. Permasalahan tersbut sebenarnya sudah muncul
sejak pemerintahan Orde Baru, namun saat itu negara masih kuat sehingga konflik
tidak sampai manifes. Tetapi ketika kekuatan negara melemah akibat gerakan
reformasi, potensi konflik tidak dapat lagi dikendalikan dan berubah menjadi
konflik kekerasan yang masif.
c.
Penyelesaian Konflik
1.
Konsiliasi
Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau
perdamaian yaitu suatu cara untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih
guna mencapai persetujuan bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang
berkepentingan dapat meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak
ketiga tidak bertugas secara menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang dianggapnya baik kepada kedua pihak yang
berselisih untuk menghentikan sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya
pendamaian antara serikat buruh dan majikan. Yang hadir dalam pertemuan
konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil dari majikan/perusahaan serta
ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga.
Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak ketiga, tetapi yang
harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat buruh dan pihak
majikan sendiri.
2.
Mediasi
Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu
cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator).
Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator.
Seorang mediator juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan Penanganan
Konflik Sosial 5 keputusan yang mengikat; keputusannya hanya bersifat konsultatif.
Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil keputusan untuk
menghentikan perselisihan.
3.
Arbitrasi
Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya
melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan.
Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi
keputusan yang mengikat kedua pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang
hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia
dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi
pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal persengketaan antara dua negara
dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau instansi internasional lain
seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu perlu mencari keputusan
secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan pada lingkup yang
sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu instansi
swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam
perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter
adalah wasit.
4.
Koersi
Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan
menggunakan paksaan fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak
berhasil, dipakailah paksaan fisik. Pihak yang biasa menggunakan paksaan adalah
pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang, bahkan sanggup menghancurkan
pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-syarat untuk menyerah dan
berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya, dalam perang dunia II
Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan menerima syarat-syarat
damai.
5.
Détente
Detente berasal dari kata Perancis yang berarti
mengendorkan. Pengertian yang diambil dari dunia diplomasi ini berarti
mengurangi hubungan tegang antara dua pihak yang bertikai. Cara ini hanya
merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan dalam rangka pembicaraan
tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini belum ada penyelesaian
definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang. Dalam praktek,
detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-masing;
perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa “istirahat” itu. tidak
tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka
tidak melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.
Daftar Pustaka
Sajid, Syahmi. 2015. Luas Wilayah dan Jumlah
Suku di Indonesia. (http://ipsgampang.blogspot.com/2015/01/luas-wilayah-dan-jumlah-suku-di.html), diakses pada 26 Juni 2015 pukul 19.50 WIB)
(https://tejogeo.wordpress.com/2012/02/24/masalah_sosial_terkait_sara/), diakses pada tanggal 26 Juni 2015 pukul
20.00 WIB)
(http://mindaw.blogspot.com/2011/08/analisis-konflik-sara-di-indonesia.html), diakses pada tanggal 26 juni 2015 pukul
20.15 WIB)
(http://rudybyo.blogspot.com/2011/04/pengertian-sara-suku-ras-agama-dan.html), diakses pada tanggal 26 juni 2015 pukul
20.25 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar